Penguatan Tata Kelola Bentuk Evaluasi Pemerintah Tingkatkan Kualitas MBG
Oleh: Juanda Syah)*
Evaluasi total terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini memasuki fase yang lebih strategis. Pemerintah tidak sekadar mengidentifikasi kekurangan, tetapi langsung merumuskan solusi dalam bentuk penguatan tata kelola sebagai kunci peningkatan kualitas layanan. Langkah korektif ini menandai bahwa evaluasi bukan dimaknai sebagai penghentian, melainkan penguatan program agar lebih kredibel, terukur, dan berkelanjutan.
Dorongan utama terhadap penguatan tata kelola datang dari Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang mengatakan bahwa MBG sebagai program prioritas nasional wajib dijaga kualitasnya. Baginya, evaluasi tidak boleh berhenti pada tataran retorika, melainkan diwujudkan melalui perbaikan sistemik yang menyentuh seluruh rantai pelaksanaan. Karena itu, pentingnya penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum yang menjadi landasan tata kelola baru MBG, mulai dari perencanaan hingga pengawasan.
Melalui regulasi tersebut, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan pelaksana akan diatur secara rinci. Puan Maharani menilai bahwa kejelasan struktur koordinasi merupakan syarat mutlak agar evaluasi berjalan komprehensif. Dengan tata kelola yang lebih tertata, segala bentuk kendala di lapangan dapat direspons secara cepat dan terukur tanpa menimbulkan kebingungan antarinstansi.
Selain regulasi, penguatan tata kelola diwujudkan pula melalui penertiban fasilitas penyedia layanan. Hal ini mendorong agar seluruh SPPG wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) sebagai parameter dasar kelayakan. Penguatan standar operasional ini menjadi bagian penting dari evaluasi agar kasus serupa tidak terulang.
Selain itu, Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa Perpres tentang tata kelola MBG akan segera diselesaikan. Baginya, penguatan tata kelola merupakan wujud tanggung jawab negara dalam memastikan program berjalan aman, bermutu, dan tepat sasaran. Ia menegaskan bahwa akses gizi adalah hak dasar warga negara, sehingga negara berkewajiban menjamin kualitas pelaksanaannya melalui sistem yang baik.
Pemerintah tidak berhenti pada penyusunan aturan, tetapi juga membangun sistem pengawasan berlapis. Evaluasi dilaksanakan melalui pengawasan internal oleh Badan Gizi Nasional (BGN), sedangkan pengawasan eksternal dibagi kepada Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Dalam Negeri. Model pengawasan ini menegaskan bahwa kualitas MBG dijaga secara menyeluruh dari hulu ke hilir, bukan sekadar pada fase distribusi makanan.
Selain penguatan sistem, peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi perhatian utama. Pemerintah mendorong adanya pelatihan rutin bagi para pengelola SPPG, mulai dari manajemen keamanan pangan, tata cara pencatatan distribusi, hingga pemanfaatan teknologi pelaporan digital. Dengan SDM yang memahami standar pelaksanaan secara menyeluruh, tata kelola tidak hanya kuat secara dokumen, tetapi benar-benar terlaksana secara konsisten di lapangan.
Untuk memastikan semua lini pelaksanaan berada dalam standar yang sama, pemerintah menetapkan tiga sertifikasi wajib bagi setiap SPPG, yaitu SLHS, Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), dan sertifikat halal. Ketiganya merupakan bagian dari tata kelola berbasis keamanan pangan modern yang biasa digunakan dalam industri skala besar. Dengan diterapkan pada MBG, maka layanan publik ini diposisikan setara dengan standar industri pangan profesional.
Transparansi informasi juga menjadi bagian dari evaluasi sistemik. Pemerintah menunjuk Kepala Badan Komunikasi Pemerintah Angga Raka Prabowo untuk menyampaikan perkembangan implementasi secara berkala kepada publik. Langkah ini merupakan bentuk penguatan tata kelola dalam aspek akuntabilitas, memastikan masyarakat mengetahui langkah-langkah perbaikan yang ditempuh pemerintah.
Dari seluruh upaya tersebut, terlihat jelas bahwa penguatan tata kelola bukan hanya respons sesaat, melainkan strategi jangka panjang. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memperkuat sistem agar program tetap berjalan tanpa mengorbankan kualitas. Dengan demikian, MBG tidak lagi dipandang sebagai sekadar program bantuan pangan, melainkan sebagai model kebijakan sosial berbasis standar mutu.
Keputusan pemerintah memperlakukan evaluasi sebagai proses pembangunan sistem adalah sinyal bahwa negara semakin dewasa dalam mengelola kebijakan publik. Penguatan tata kelola membuktikan bahwa program yang baik tetap harus memiliki mekanisme koreksi agar mampu bertahan terhadap tantangan pelaksanaan di lapangan. Bila konsistensi ini terjaga, MBG berpotensi menjadi rujukan nasional bahkan internasional dalam penyediaan nutrisi publik berskala besar.
Pada akhirnya, evaluasi melalui penguatan tata kelola merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam menjadikan MBG bukan hanya tepat sasaran, tetapi juga aman, bermartabat, dan berkualitas. Dengan sinergi antara Puan Maharani di parlemen, Zulkifli Hasan di jajaran eksekutif, serta Angga Raka Prabowo dalam komunikasi publik, arah pembenahan sudah semakin jelas. MBG sedang bergerak dari sekadar program bantuan menuju sistem perlindungan gizi nasional yang kuat.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah juga mulai menggandeng perguruan tinggi serta asosiasi profesi untuk menyusun panduan evaluasi berbasis riset. Kolaborasi ini memastikan bahwa pembenahan MBG tidak hanya mengandalkan pengalaman lapangan, tetapi juga didukung oleh kajian ilmiah yang objektif. Dengan demikian, setiap rekomendasi perbaikan memiliki dasar metodologis yang kuat dan dapat diterapkan secara berkelanjutan.
Di sisi lain, pelibatan masyarakat juga menjadi bagian penting dari tata kelola baru MBG. Pemerintah membuka kanal pelaporan daring bagi orang tua, guru, maupun pelaksana program untuk menyampaikan masukan secara langsung. Sistem partisipatif ini menjadikan evaluasi lebih inklusif dan responsif, sekaligus memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap program nasional ini.
)* Penulis adalah mahasiswa Jakarta tinggal di Bandung