Menolak Judi Daring, Menyelamatkan Masa Depan Bangsa

Oleh : Adisti Dwikirana )*

Kemajuan teknologi yang pesat seharusnya membawa manfaat besar bagi kehidupan masyarakat. Namun, di balik kemudahan akses digital, tersembunyi ancaman yang menjerat jutaan orang tanpa pandang usia: judi daring. Aktivitas ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial, menggerogoti ekonomi keluarga, dan menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Dalam situasi ini, literasi digital menjadi senjata paling penting untuk menyelamatkan masyarakat dari jebakan digital yang mematikan.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat bahwa dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, nilai transaksi yang berkaitan dengan aktivitas judi daring mencapai ratusan triliun rupiah. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menjelaskan bahwa dana tersebut sebagian besar mengalir ke luar negeri melalui jaringan keuangan ilegal lintas batas. Kondisi ini tidak hanya menunjukkan kebocoran ekonomi nasional, tetapi juga memperlihatkan betapa masifnya kejahatan siber yang menyusup ke dalam ruang digital masyarakat Indonesia. Judi daring, yang sering dimulai dari rasa penasaran atau ajakan teman, ternyata menjadi pintu masuk ke dalam sistem ekonomi gelap yang menghisap sumber daya bangsa.

Lebih jauh dari angka kerugian ekonomi, korban judi daring menghadapi dampak sosial yang jauh lebih serius. Banyak orang kehilangan tabungan, kepercayaan diri, dan relasi sosial karena terjerat dalam kebiasaan berjudi yang tidak terkendali. Pola candu yang terbentuk membuat pelaku sulit keluar, bahkan setelah mengalami kerugian berulang. Di sisi lain, keluarga korban menjadi pihak yang paling menderita: hubungan suami-istri hancur, anak-anak terlantar, dan rumah tangga terjerumus dalam lingkaran kemiskinan baru yang disebabkan oleh perilaku digital destruktif.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah melakukan upaya besar-besaran untuk menekan laju perjudian daring. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyampaikan bahwa jutaan situs dan konten bermuatan judi telah diblokir sejak awal tahun 2025. Namun, ia juga menegaskan bahwa pemblokiran teknis saja tidak cukup. Setiap kali satu situs ditutup, jaringan baru muncul dalam hitungan jam. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemberantasan judi daring tidak akan berhasil jika masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk menolak sejak awal. Di sinilah pentingnya literasi digital dan bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi kemampuan memahami risiko, mengenali manipulasi, dan mengendalikan diri di dunia maya.

Literasi digital juga berarti melatih masyarakat untuk berpikir kritis terhadap janji palsu dunia daring. Iklan “menang mudah” dan “cuan cepat” yang bertebaran di media sosial seringkali merupakan umpan psikologis untuk menarik orang masuk ke perangkap digital. Mereka yang memiliki pemahaman literasi rendah akan mudah percaya dan kehilangan kemampuan menilai risiko. Karena itu, kampanye literasi digital perlu diarahkan untuk menumbuhkan sikap skeptis terhadap semua bentuk ajakan instan yang berpotensi menjerumuskan.

Dari sisi kesehatan, dampak judi daring tidak kalah berbahaya. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Dr. Irmansyah Putra, Sp.KJ, menjelaskan bahwa kecanduan judi daring termasuk dalam kategori gangguan perilaku serius. Seseorang yang kecanduan akan mengalami perubahan kimiawi di otak yang memicu sensasi kesenangan semu saat menang dan frustrasi berlebihan saat kalah. Pola naik-turun emosi inilah yang membuat pemain sulit melepaskan diri, meski sadar mengalami kerugian besar. Kemenkes mencatat, kasus gangguan kejiwaan akibat kecanduan digital meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, dan sebagian besar terkait dengan aktivitas judi daring.

Dr. Irmansyah menilai, kecanduan semacam ini membutuhkan pendekatan pemulihan yang holistik: edukasi, konseling, dan dukungan sosial. Ia menekankan bahwa masyarakat tidak boleh menganggap enteng kecanduan digital, karena dampaknya bisa sama merusaknya dengan penyalahgunaan zat adiktif. Lebih dari itu, pencegahan harus dimulai sejak dini, di lingkungan keluarga dan sekolah. Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali bahaya konten digital yang menipu, serta memahami bahwa keberhasilan tidak datang dari keberuntungan instan, melainkan kerja keras dan integritas.

Selain peran pemerintah, masyarakat juga memiliki tanggung jawab moral untuk menutup ruang bagi penyebaran judi daring. Lingkungan sosial yang permisif terhadap perilaku spekulatif justru memperkuat normalisasi perjudian di dunia digital. Media, tokoh agama, dan komunitas lokal harus aktif menyuarakan bahaya judi daring dalam bahasa yang mudah dipahami, agar pesan edukatif bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Kita tidak sedang menghadapi sekadar pelanggaran hukum, melainkan fenomena sosial yang dapat menggerus generasi bangsa jika dibiarkan. Judi daring bukan hanya soal kehilangan uang, tetapi kehilangan kendali atas hidup. Literasi digital yang kuat akan menjadi benteng terakhir untuk mencegah masyarakat terjerumus lebih jauh dalam jurang digital yang menipu.

Generasi muda harus menjadi ujung tombak perubahan. Mereka yang paling akrab dengan teknologi harus juga menjadi yang paling sadar akan bahayanya. Menolak judi daring berarti menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia digital. Ini bukan sekadar pilihan pribadi, tetapi tanggung jawab sosial untuk menjaga masa depan bangsa dari kehancuran moral dan ekonomi. Mari berhenti sekarang — bukan karena takut rugi, tetapi karena kita memilih untuk hidup cerdas, sehat, dan bermartabat di tengah dunia yang serba digital.

)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *