Ulama dan Akademisi Nilai Soeharto Layak Raih Gelar Pahlawan
Oleh: Yandi Arya Adinegara)*
Menjelang peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, dukungan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, terus mengemuka. Berbagai kalangan, termasuk ulama dan akademisi, menilai bahwa Soeharto adalah sosok pemimpin yang memiliki jasa besar bagi bangsa Indonesia, baik dalam perjuangan kemerdekaan maupun dalam pembangunan nasional.
Pernyataan dukungan datang dari Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yang menekankan peran besar Soeharto sejak masa revolusi kemerdekaan. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dadang Kahmad, menegaskan bahwa Soeharto berperan penting dalam serangan 1 Maret 1949 dan sejak saat itu telah menunjukkan dedikasi tinggi untuk menjaga kedaulatan negara.
Muhammadiyah menilai bahwa pencapaian Soeharto tidak hanya terbatas pada masa revolusi, tetapi juga terlihat dalam program-program pembangunan yang ia jalankan selama menjadi presiden.
Selama kepemimpinan Soeharto, berbagai program pembangunan dilaksanakan secara terstruktur melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Program tersebut membawa dampak signifikan bagi stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan nasional.
Pencapaian Indonesia pada era 1980-an, seperti swasembada beras dan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang menekan laju pertumbuhan penduduk, menjadi bukti nyata dari kepemimpinan yang berpihak pada kepentingan bangsa. Dadang menegaskan bahwa dalam menilai jasa kepahlawanan seseorang, perbedaan politik atau kepentingan pribadi seharusnya tidak menjadi pertimbangan utama. Yang lebih penting adalah kontribusi nyata terhadap kemajuan negara.
Dukungan serupa juga datang dari dunia akademik. Guru Besar Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Marsuki, menilai bahwa Soeharto layak mendapatkan gelar pahlawan nasional, terlepas dari kontroversi yang mungkin berkembang di masyarakat.
Masa kepemimpinan Soeharto selama hampir 32 tahun ditandai dengan pembangunan infrastruktur yang masif dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Inflasi terkendali, stabilitas ekonomi terjaga, dan Indonesia saat itu dikenal sebagai “macan Asia” karena performa ekonomi yang menonjol di kawasan.
Marsuki menambahkan bahwa keputusan Soeharto untuk mengundurkan diri pada 1998, meskipun di tengah tekanan publik, menunjukkan tanggung jawabnya sebagai kepala negara. Pengunduran diri dilakukan secara terbuka sesuai aturan yang berlaku dan menghormati aspirasi masyarakat.
Terdapat perbedaan pendapat yang muncul di masyarakat terkait gelar pahlawan untuk Soeharto, namun perlu ditekankan bahwa pertimbangan Dewan Gelar Tanda Kehormatan akan menjadi acuan resmi dalam pengambilan keputusan. Masukan dari berbagai pihak akan dijadikan referensi bersama dalam menentukan kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Di Pulau Bali, sejumlah akademisi juga menegaskan bahwa sejarah tidak boleh dilupakan. Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Universitas Dwijendra, Ni Made Adi Novayanti, menilai bahwa pencapaian Soeharto selama memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade menunjukkan kontribusi besar bagi bangsa.
Meskipun wacana ini menuai pro dan kontra, pengakuan terhadap jasa Soeharto penting untuk menjaga nilai sejarah bangsa. Sehingga, perlu adanya peran media dalam menyikapi isu tersebut secara positif, agar tidak berkembang menjadi konflik yang merugikan persatuan.
Senada dengan Nova, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, I Gede Nandya Oktora, menyatakan bahwa bangsa yang besar tidak boleh melupakan jasa para pemimpinnya, termasuk Soeharto, yang dikenal sebagai bapak pembangunan nasional.
Konteks dukungan ini menjadi lebih relevan dalam situasi terkini, di mana pemerintah yang saat ini dipimpin Presiden Prabowo Subianto terus mendorong penguatan identitas nasional dan pengakuan terhadap tokoh-tokoh yang berjasa bagi bangsa.
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, telah menyampaikan usulan agar Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional, dan Presiden Prabowo menerima aspirasi tersebut dengan mempertimbangkan mekanisme formal yang berlaku. Langkah ini menunjukkan sinergi antara aspirasi publik, partai politik, dan pemerintah dalam menilai jasa para pendahulu bangsa.
Sejumlah pengamat menilai bahwa pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan nasional akan menjadi momentum penting bagi bangsa untuk menghargai jasa pemimpin terdahulu tanpa mengabaikan konteks sejarah. Upaya ini sejalan dengan semangat Hari Pahlawan yang tidak hanya memperingati perjuangan fisik, tetapi juga jasa nyata dalam pembangunan bangsa.
Selain itu, penilaian objektif terhadap kepemimpinan Soeharto dapat menjadi refleksi bagi generasi muda tentang pentingnya stabilitas, pembangunan berkelanjutan, dan kepemimpinan yang visioner.
Seiring berjalannya proses administrasi dan pertimbangan resmi Dewan Gelar Tanda Kehormatan, dukungan dari ulama dan akademisi menunjukkan adanya konsensus bahwa jasa Soeharto bagi Republik Indonesia tidak bisa diabaikan. Pendekatan yang objektif dan berbasis fakta sejarah ini menjadi fondasi penting bagi pengambilan keputusan yang adil dan kredibel.
Dengan segala pencapaian dan jasa yang telah ditorehkan, dukungan dari berbagai kalangan ini semakin memperkuat wacana agar Soeharto diakui sebagai pahlawan nasional. Sejarah membuktikan bahwa Soeharto tidak hanya hadir sebagai pemimpin pada masa sulit bangsa, tetapi juga membawa Indonesia menuju stabilitas, pembangunan, dan kesejahteraan.
Dalam konteks ini, langkah pemerintah untuk mempertimbangkan gelar pahlawan bagi Soeharto dapat dipandang sebagai penghormatan terhadap jasa seorang tokoh besar yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi Republik Indonesia.
)*Penulis merupakan Pengamat Sosial
