Hari Pahlawan: Suara Tokoh Agama–Akademisi Menguat, Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Jakarta — Bersamaan peringatan Hari Pahlawan, sejumlah tokoh agama, akademisi, dan politisi menyatakan dukungan terbuka—menilai jasa dan rekam pengabdian Presiden ke-2 RI, Soeharto layak diakui negara dengan gelar Pahlawan Nasional.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menegaskan perlunya sikap dewasa dalam membaca sejarah kepemimpinan nasional.

“Setiap mantan presiden yang telah tiada layak diangkat sebagai pahlawan nasional. Sebab, mereka telah berjuang dan berkorban saat memimpin negeri,” ujarnya.

Ia mengingatkan agar publik tidak terjebak pada dendam masa lalu.

“Masyarakat tidak boleh menyimpan dendam dan mengungkit keburukan para pemimpin terdahulu. Karena memang tidak ada orang yang sempurna,” sambungnya.

Nada serupa disampaikan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dadang Kahmad. Ia menilai kontribusi Soeharto bersifat historis sekaligus strategis.

“Soeharto merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang layak memperoleh penghargaan atas pengabdian dan kontribusinya selama masa perjuangan maupun kepemimpinan nasional,” kata Dadang.

Ia menambahkan peran kunci Soeharto di masa revolusi.

“Soeharto turut berjuang dalam perang gerilya dan memainkan peran penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menjadi momentum strategis bagi pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia,” pungkasnya.

Dari ranah pemerintah, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menekankan aspek pembuktian historis terkait isu pelanggaran HAM 1965–1966.

“Tidak ada bukti menunjukan presiden ke-2 RI, Soeharto terlibat dalam peristiwa genosida 1965-1966. Menurutnya, tudingan terhadap Soeharto tidak pernah dibuktikan secara hukum maupun fakta sejarah yang valid,” tegas Fadli.

Dukungan juga datang dari kalangan politik. Ketua DPP NasDem, Irma Suryani Chaniago, menilai stabilitas era Orde Baru menjadi salah satu indikator penting.

“Di saat beliau memimpin dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Indonesia selalu aman dan situasi politik relatif tenang. Bahkan Indonesia pernah swasembada pangan di era beliau,” ucap Irma.

Dari perspektif akademisi muda, Dosen FIKOM & Bisnis Universitas Dwijendra, Ni Made Adi Novayanti, mengajak publik melihat capaian objektif.

“Terlepas dari pro dan kontra gelar pahlawan tersebut, banyak capaian yang sudah ditorehkan Soeharto selama memimpin Indonesia 32 tahun,” tegasnya.

Sejalan dengan itu, Dosen FEB Universitas Udayana, I Gede Nandya Oktora, menekankan narasi ingatan kolektif bangsa.

“Bangsa yang besar tidak boleh melupakan jasa para pemimpin terdahulu, termasuk Soeharto yang dikenal sebagai bapak pembangunan nasional,” tuturnya.

Di Hari Pahlawan, spektrum dukungan ini menandai menguatnya dorongan agar negara menimbang pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto—seraya menjaga ruang dialog yang sehat dan berimbang bagi generasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *