Cerminan Bangsa Besar: Dukungan Lintas Kalangan untuk Gelar Pahlawan Soeharto Kian Menguat

Jakarta – Dorongan dari berbagai elemen masyarakat terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, H.M. Soeharto, terus menguat.

Organisasi masyarakat, peneliti, hingga tokoh agama menilai bahwa gelar tersebut tepat sebagai wujud penghormatan atas jasa dan pengabdian Soeharto bagi bangsa Indonesia.

Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Mukhamad Misbakhun menilai Soeharto bukan hanya seorang pemimpin politik, melainkan juga arsitek pembangunan Indonesia modern.

“Presiden Soeharto bukan hanya pemimpin politik, tapi arsitek pembangunan Indonesia modern. Beliau menanamkan pondasi ekonomi dan stabilitas nasional yang kokoh,” ujar Misbakhun.

Menurut SOKSI, Soeharto adalah figur pejuang sekaligus negarawan yang mewariskan arah pembangunan nasional yang terencana.

Peneliti dari Intelligence and National Security Studies (INSS), Yusup Rahman Hakim, menilai kalau kriteria pahlawan dikaitkan dengan dampak kebijakan publik dan pembangunan jangka panjang, maka Soeharto dinilai layak.

“Pembangunan sekolah secara masif pada awal 1970-an, reformulasi struktur perencanaan pembangunan serta modernisasi pertanian pada dekade 1980-an merupakan bagian dari proses nation-building yang membentuk fondasi sosial dan ekonomi Indonesia saat ini,” ungkap Yusup.

Ia menekankan bahwa pengakuan kontribusi tidak berarti menghapus kritik, tetapi sejarah harus dicatat secara menyeluruh.

Tokoh keagamaan pun ikut menegaskan bahwa penghargaan semacam itu mencerminkan kedewasaan bangsa dalam menghargai jasa pemimpin.

Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawan dan pemimpinnya

“Setiap zaman ada tokoh pahlawannya. Kita harus menghargai perjuangan para pemimpin bangsa, termasuk para mantan presiden yang telah memimpin Indonesia. Mereka adalah pahlawan bagi bangsa Indonesia,” ujar Niam.

Ia mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh menyimpan dendam atau mengungkit keburukan para pemimpin terdahulu karena tidak ada manusia yang sempurna.

Pandangan serupa disampaikan Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur. Ia menilai Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memiliki kontribusi besar dalam dua fase sejarah berbeda yang membentuk arah perjalanan bangsa.

Menurutnya, bangsa Indonesia perlu belajar dari kelebihan dan kekurangan para pemimpin masa lalu guna membangun masa depan yang lebih berkeadaban.

“Dalam tradisi Islam ada kaidah penting: Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik,” pungkas Gus Fahrur. #

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *