Soeharto dan Warisan Kepemimpinan: Teladan bagi Generasi Muda Menuju Indonesia Emas

Jakarta — Dua tokoh dari ormas Islam besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), menegaskan pentingnya meneladani semangat kepahlawanan dan keteladanan pemimpin bangsa dalam menyiapkan generasi menuju Indonesia Emas 2045. Mereka menilai, semangat berkorban dan kontribusi nyata menjadi fondasi utama kemajuan bangsa.

Pimpinan Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Makroen Sanjaya, menilai Presiden ke-2 RI, Soeharto, merupakan sosok yang memiliki kontribusi besar sejak masa revolusi kemerdekaan.

“Kita menilai sosok beliau secara komprehensif. Sejak zaman revolusi, beliau sudah memberikan kontribusi besar bagi bangsa,” ujarnya dalam diskusi di salah satu stasiun TV nasional, Minggu (09/11).

Makroen menyebut kiprah Soeharto sudah terlihat sejak 1946 ketika berhasil menanggulangi upaya kudeta kelompok kiri dan saat memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Ia juga menyinggung keberhasilan Soeharto membawa Indonesia mencapai swasembada pangan yang diakui dunia.

“Ketika menjabat, dunia mengakui pencapaian Indonesia, salah satunya saat beliau berpidato di forum FAO,” tambahnya.

Menurutnya, penilaian terhadap pemimpin bangsa perlu dilakukan dengan bijak, bukan dengan menonjolkan kesalahan masa lalu.

“Dalam filosofi Jawa ada istilah mikul ndhuwur, mendem njero. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi bangsa ini tidak akan maju kalau hanya mencari-cari kesalahan masa lalu,” tegasnya.

Makroen menekankan bahwa kepahlawanan bukan sekadar gelar, tetapi harus tercermin dalam pengorbanan dan pencapaian yang nyata.

“Minimal ada dua hal yang membentuk kriteria pahlawan: kesediaan berkorban untuk bangsa dan capaian prestasi yang menjadi teladan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan generasi muda agar tidak melupakan sejarah dan terus meneladani semangat para pejuang.

“Kalau anak muda sekarang tidak mencerminkan semangat berkorban dan prestasi, maka Indonesia Emas bisa terancam. Ini momentum untuk menyiapkan generasi 2045 sejak sekarang,” ujarnya.

Senada, KH Arif Fahrudin, Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyebut pahlawan adalah sosok yang berjasa besar dan rela berkorban demi bangsa.

“Kata kuncinya dua: berjasa dan rela berkorban. Itulah hakikat pahlawan,” katanya.

Tokoh NU tersebut menilai semangat kepahlawanan bisa diwujudkan juga di masa kini, bukan hanya di era perjuangan kemerdekaan.

“Tenaga kerja Indonesia, misalnya, adalah pahlawan devisa. Mereka mendedikasikan diri untuk kemajuan bangsa,” ujarnya.

KH Arif juga membandingkan dua figur bangsa, Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dinilainya sama-sama berkontribusi besar dalam konteks berbeda.

“Pak Harto berjuang sejak revolusi hingga menjadi Presiden, sedangkan Gus Dur berperan besar melalui pendidikan, pesantren, dan penguatan pluralitas,” tuturnya.

Menyoroti cita-cita Indonesia Emas 2045, Arif mengingatkan pentingnya generasi muda menghargai jasa para pendahulu.

“Kalau tidak pandai menghargai jasa para pahlawan, maka tidak akan pandai bersyukur atas adanya negara ini. Padahal dari negara ini kita hidup,” ucapnya.

Ia menutup dengan pesan agar nilai keteladanan para pahlawan tidak berhenti di buku sejarah.

“Tantangan kita adalah mentransmisikan warisan kebaikan itu ke generasi sekarang. Zaman berubah, tapi nilai pengorbanan dan keikhlasan tetap harus hidup,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *