Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Pengakuan atas Jasa dalam Membangun Negeri

Oleh: Bagas Pratama Adi

Pemerintah telah secara resmi menetapkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, H. M. Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Keputusan tersebut menjadi salah satu penanda yang penting dalam sejarah bangsa, yakni adanya sebuah pengakuan atas jasa besar seorang pemimpin yang telah meletakkan dasar pembangunan ekonomi, pertanian, dan infrastruktur Indonesia modern.

Penganugerahan itu bukan hanya bentuk penghormatan, melainkan juga simbol rekonsiliasi nasional yang menunjukkan kedewasaan bangsa dalam menilai sejarah secara berimbang dan objektif.

Soeharto tidak hanya dikenal sebagai kepala negara yang memimpin selama 32 tahun, tetapi juga sebagai tokoh yang berperan penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia sejak masa revolusi.

Kiprahnya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 tercatat sebagai salah satu momentum penting dalam sejarah perjuangan bangsa yang memaksa Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan latar perjuangan itu, penghargaan yang diberikan negara kini menjadi penegasan terhadap warisan kontribusi yang telah dibangun sepanjang perjalanan hidupnya.

Menko Infrastruktur sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyebut keputusan pemerintah sebagai langkah penting dalam menyatukan sejarah bangsa.

Ia menilai bahwa penghargaan kepada Soeharto dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan bukti kedewasaan bangsa yang berani menghormati jasa para pemimpin tanpa menafikan sisi lain perjalanan mereka. Bagi AHY, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa pendahulunya, sebab dari fondasi mereka-lah negeri ini terus berdiri dan berkembang.

AHY juga menilai keputusan tersebut sebagai momentum memperkuat silaturahmi kebangsaan di tengah dinamika politik yang terus bergerak. Semangat rekonsiliasi dan penghargaan terhadap tokoh bangsa dinilai akan memperkokoh kebersamaan serta menumbuhkan optimisme menuju masa depan Indonesia yang lebih baik. Ia mengingatkan bahwa pengakuan terhadap jasa para pemimpin terdahulu mencerminkan kematangan politik dan kedewasaan bangsa dalam menilai sejarah secara utuh dan adil.

Dalam pandangannya, setiap era memiliki tantangan dan konteksnya masing-masing. Ia mencontohkan bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat menjabat sebagai Presiden ke-6 RI, pernah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden pertama, Soekarno, pada tahun 2012.

Meski keputusan itu menimbulkan perdebatan, langkah SBY diambil karena pandangan yang komprehensif terhadap jasa besar sang proklamator bagi republik. Dengan semangat yang sama, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dianggap sebagai upaya melanjutkan tradisi penghormatan terhadap pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa.

Dari perspektif akademisi, Sahmin Madina dari IAIN Gorontalo menilai bahwa penetapan gelar tersebut menunjukkan kematangan politik bangsa dalam berdamai dengan masa lalu. Menurutnya, sebagian pihak yang masih menolak penghargaan tersebut memperlihatkan bahwa luka sejarah belum sepenuhnya disembuhkan. Namun, bangsa yang besar seharusnya mampu mengakui masa lalunya secara objektif—baik sisi cemerlang maupun sisi kelamnya.

Sahmin memandang Soeharto sebagai bagian integral dari perjalanan sejarah Indonesia. Ia menilai bahwa peran besar Soeharto dalam membangun ekonomi, memperkuat ketahanan pangan, serta menjaga stabilitas nasional tidak bisa dihapus dari catatan bangsa.

Pendekatan dendam terhadap masa lalu hanya akan memperpanjang perpecahan, sedangkan sikap rekonsiliatif justru memperkuat fondasi kebangsaan. Ia menyebut bahwa langkah pemerintah dalam memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto menunjukkan politik berjiwa besar, sebagaimana yang pernah dicontohkan Gus Dur saat memulihkan kehormatan para tokoh yang dulu dianggap lawan.

Bagi Sahmin, penghormatan terhadap Soeharto tidak perlu dimaknai sebagai pembenaran atas seluruh kebijakannya di masa Orde Baru, melainkan sebagai pengakuan objektif terhadap jasa-jasanya dalam membangun negeri.

Ia menekankan bahwa bangsa yang matang tidak menutup mata terhadap sejarahnya, melainkan mengakui jasa, mengoreksi kesalahan, dan melangkah ke depan dengan kebesaran hati. Momentum penganugerahan tersebut seharusnya menjadi ajang refleksi untuk menegaskan kedewasaan bangsa dalam memandang sejarah secara bijak dan beradab.

Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi, Dadang Kahmad, menilai bahwa kiprah Soeharto tidak hanya tercatat pada masa kepemimpinannya sebagai presiden, tetapi juga sejak masa perjuangan kemerdekaan. Ia menegaskan bahwa Soeharto berjasa besar dalam memperkuat fondasi pembangunan nasional di berbagai sektor, mulai dari pertanian, pendidikan, hingga infrastruktur desa.

Menurut Dadang, ormas-ormas keagamaan memandang penganugerahan gelar tersebut sebagai bagian dari rekonsiliasi sejarah nasional. Ia menilai sudah saatnya bangsa Indonesia menempatkan penilaian terhadap tokoh-tokoh besar secara adil dan proporsional tanpa terjebak dalam bias politik masa lalu.

Penghargaan terhadap jasa Soeharto, dalam pandangannya, bukan hanya penghormatan terhadap masa lampau, melainkan juga warisan nilai bagi generasi penerus dalam membangun negeri dengan semangat pengabdian yang sama.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akhirnya menandai babak baru dalam perjalanan bangsa. Pengakuan negara atas jasanya menjadi simbol bahwa Indonesia telah sampai pada fase kematangan dalam menilai sejarahnya sendiri.

Dari pembangunan pertanian hingga stabilisasi ekonomi, dari perjuangan fisik di masa revolusi hingga penataan kebijakan pembangunan nasional, seluruh kontribusi Soeharto telah membentuk wajah Indonesia yang dikenal saat ini.

Dengan penganugerahan gelar tersebut, bangsa Indonesia bukan sekadar mengenang seorang pemimpin masa lalu, melainkan menegaskan bahwa jasa dalam membangun negeri layak dihormati lintas zaman. (*)

Analis Politik Nasional – Forum Kajian Demokrasi Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *