Pemerintah Tetapkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional, Simbol Penghormatan Sejarah Bangsa
Oleh: Putri Widiani )*
Penetapan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi salah satu keputusan kenegaraan yang mendapatkan apresiasi luas dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah penting dalam menghormati sejarah bangsa serta mengakui jasa besar pemimpin yang telah mengabdikan hidupnya demi kemerdekaan, kedaulatan, dan kemajuan Indonesia.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada para pendahulu bangsa yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi negara. Ia menjelaskan bahwa setiap nama yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional telah melalui proses pembahasan panjang, termasuk masukan dari parlemen dan sejumlah tokoh nasional. Pemerintah memastikan seluruh tahapan dijalankan dengan penuh kehati-hatian agar keputusan yang diambil mencerminkan nilai objektivitas dan penghormatan sejarah yang mendalam.
Pemerintah menilai, pemberian gelar kepada Soeharto bukan semata-mata sebagai bentuk penghargaan pribadi, melainkan juga pengakuan terhadap kontribusinya dalam menjaga keutuhan dan stabilitas bangsa di masa-masa sulit. Selama lebih dari tiga dekade kepemimpinannya, Soeharto dikenal sebagai sosok yang berperan besar dalam membangun sistem ekonomi nasional yang kuat serta memperluas akses pembangunan hingga ke pelosok daerah.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, Dr. TGKH. Muhammad Zainuddin Atsani, menilai Soeharto layak memperoleh gelar tersebut karena jasanya yang nyata dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Indonesia. Ia menyoroti peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang menjadi momen penting dalam menunjukkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia.
Soeharto juga dinilai pantas disebut sebagai Bapak Pembangunan Nasional karena berhasil membawa Indonesia menuju masa industrialisasi dan kemajuan ekonomi yang signifikan. Julukan tersebut bahkan telah diberikan secara resmi oleh MPR pada tahun 1982, menandakan besarnya pengakuan negara atas perannya.
Apresiasi juga datang dari kalangan akademisi. Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Abdul Haris Fatgehipon, menyatakan bahwa pemberian gelar kepada Soeharto perlu dilihat sebagai bentuk penghormatan negara terhadap para pemimpin bangsa, bukan sebagai ajang memperpanjang luka sejarah atau memunculkan perdebatan politik masa lalu. Menurutnya, setiap pemimpin memiliki jasa dan khilafnya masing-masing, namun bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pendahulunya secara objektif dan beradab.
Abdul Haris menilai, secara spiritual, Soeharto tidak membutuhkan gelar pahlawan nasional karena penghargaan terbesar adalah doa dari rakyat Indonesia. Namun secara kenegaraan, gelar tersebut mencerminkan pengakuan moral terhadap peran penting seorang pemimpin dalam perjalanan republik ini. Ia menegaskan bahwa sejarah tidak dapat dihapus hanya karena perbedaan pandangan politik, sebab Soeharto memiliki tempat tersendiri dalam perjalanan bangsa, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era pembangunan nasional.
Sebagai tokoh militer, Soeharto turut mengambil bagian dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memaksa Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia dan membuka jalan bagi pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar.
Soeharto juga berperan penting sebagai Panglima Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat. Pada masa berikutnya, ketika negara terancam oleh perpecahan akibat peristiwa G30S/PKI, Soeharto mengambil langkah cepat untuk menjaga keselamatan bangsa dan mempertahankan ideologi negara. Tindakan tersebut dipandang banyak pihak sebagai upaya penyelamatan nasional yang menentukan arah masa depan Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, Soeharto dikenal berhasil menstabilkan kondisi nasional setelah periode krisis ekonomi di era sebelumnya. Melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), ia mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Kebijakan pembangunan sektor pertanian membuat Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-an, sebuah pencapaian monumental yang diakui dunia. Selain itu, keberhasilannya memperkuat sektor industri strategis seperti pesawat terbang, perkapalan, dan energi menunjukkan komitmen untuk menjadikan Indonesia bangsa yang mandiri.
Soeharto juga memperluas pembangunan sosial melalui kebijakan seperti pendirian Sekolah Dasar Inpres dan Puskesmas, yang meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di daerah terpencil. Langkah ini menunjukkan pandangan jangka panjangnya dalam membangun kualitas sumber daya manusia sebagai fondasi pembangunan nasional.
Abdul Haris menilai, kebijakan tegas yang diterapkan pada masa Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari konteks zaman. Saat itu, kestabilan politik dan keamanan menjadi prasyarat utama dalam membangun ekonomi nasional. Ia menilai, Soeharto memahami dengan baik bahwa pembangunan membutuhkan ketertiban agar kepercayaan investor dan masyarakat internasional dapat tumbuh. Karena itu, kebijakan yang keras pada masa tersebut lahir dari situasi darurat yang menuntut keputusan cepat dan berani demi kelangsungan negara.
Pemerintah memandang, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan hanya sekadar bentuk penghormatan simbolik, tetapi juga pesan moral bagi generasi penerus untuk menilai sejarah secara proporsional. Pengakuan terhadap jasa para pemimpin terdahulu menjadi cerminan kedewasaan bangsa dalam menghargai perjalanan panjang republik ini.
Langkah ini juga memperlihatkan tekad pemerintah dalam menjaga kontinuitas penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang telah berjasa besar, tanpa terjebak pada perbedaan pandangan politik masa lalu. Dengan demikian, pemberian gelar ini menjadi penegasan bahwa bangsa Indonesia tidak melupakan sejarahnya dan selalu menempatkan pengabdian sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan bernegara.
)* Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik
