Bersama Jaga Kondusivitas Penganugerahan Gelar Pahlawan Soeharto sebagai Bentuk Kematangan Demokrasi
Oleh : Zaki Kurnia *
Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto menjadi salah satu tokoh yang diusulkan mendapat gelar Pahlawan Nasional. Banyak pihak dari berbagai elemen mendukung karena menganggap bahwa tokoh Orde Baru ini layak untuk mendapatkan penghargaan negara itu, yang mana juga menandai bahwa demokrasi di Indonesia terus hidup dan berkembang sampai detik ini.
Untuk itu, dalam merawat dan mengisi iklim demokrasi tersebut, menjadi sangat penting bagi semua pihak untuk bisa bersama saling menjaga kondusivitas, yang merupakan kunci penting agar seluruh proses berbangsa dan bernegara tetap mencerminkan kedewasaan dan kematangan berdemokrasi bangsa.
Demokrasi yang matang bukan hanya diukur dari kebebasan berpendapat, melainkan dari kemampuan masyarakat mengelola perbedaan secara damai dan konstruktif. Dalam konteks penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto, kematangan demokrasi itu diuji: apakah bangsa mampu berdiskusi tanpa permusuhan, menghargai pandangan berbeda tanpa menjatuhkan, serta menempatkan sejarah secara utuh tanpa terjebak pada dendam masa lalu.
Pemerintah telah menyeleksi sekitar 40 nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional. Dari sekian nama, Soeharto menempati posisi paling disorot. Usulan tersebut datang dari berbagai kalangan, mulai dari partai politik, pemerintah daerah, hingga organisasi masyarakat.
Dukungan terhadap Soeharto juga mengalir dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia—Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama—yang melihat jasa besar Soeharto terhadap pembangunan dan stabilitas nasional selama masa kepemimpinannya.
Dr. Makroen Sanjaya, Pimpinan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, menilai Soeharto sebagai sosok penting dalam perjalanan bangsa. Ia menegaskan bahwa Soeharto tidak hanya berperan dalam perjuangan kemerdekaan melalui keterlibatannya pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tetapi juga meninggalkan jejak besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial bangsa.
Menurutnya, keberhasilan program Repelita, swasembada beras, serta kestabilan politik dan keamanan di masa Orde Baru merupakan warisan nyata yang tidak bisa dihapus dari sejarah nasional.
Makroen menjelaskan, dukungan Muhammadiyah terhadap Soeharto sejatinya sejalan dengan semangat menghargai setiap pemimpin bangsa tanpa meniadakan sisi kritis. Sebagaimana Muhammadiyah dulu turut mendukung gelar pahlawan bagi Soekarno, ia memandang Soekarno dan Soeharto sebagai dua figur besar dengan kontribusi berbeda yang sama-sama membentuk fondasi kemajuan Indonesia. Sikap tersebut menunjukkan objektivitas dan kedewasaan dalam memandang sejarah.
Dari kalangan Nahdlatul Ulama, KH Arif Fahrudin menyuarakan pandangan senada. Ia menilai Soeharto memiliki jasa besar dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, sedangkan Gus Dur berjasa dalam memperjuangkan demokrasi dan rekonsiliasi bangsa pascareformasi. Arif menyerukan agar masyarakat tidak lagi mengungkit masa lalu Soeharto dengan kebencian.
Menurutnya, tidak ada pemimpin yang sempurna, namun jasa dan pengabdiannya tetap patut dihargai sebagai bagian dari perjalanan bangsa. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat menjaga keharmonisan dan tidak menjadikan perbedaan pandangan sebagai alasan perpecahan.
Sementara itu, Dekan FISIP Universitas Al Azhar Indonesia, Dr. Heri Herdiawanto, menilai penganugerahan gelar pahlawan bagi Soeharto seharusnya dijadikan momentum memperkuat kesadaran sejarah.
Ia menekankan pentingnya sikap arif dan rekonsiliatif dalam menyikapi berbagai hal. Menghormati kontribusi setiap tokoh, menurutnya, merupakan cermin bangsa besar yang matang secara politik dan moral. Heri menegaskan, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang melupakan kesalahan masa lalu, melainkan yang mampu menilai sejarahnya dengan jujur dan adil tanpa terbawa emosi.
Lebih jauh, Heri menyerukan agar para tokoh publik menunjukkan keteladanan dengan menebarkan semangat persatuan. Dalam pandangannya, kedewasaan bangsa tidak diukur dari seberapa keras berdebat, melainkan dari kemampuan menghargai jasa pemimpin yang telah berbuat untuk negeri ini. Ia mengingatkan bahwa tradisi memaafkan dan menghormati jasa adalah bagian dari budaya luhur bangsa Indonesia.
Pandangan serupa datang dari akademisi IAIN Ternate, Dr. Arwan M. Said. Ia menilai bangsa yang dewasa adalah bangsa yang mampu memaafkan tanpa melupakan. Menurutnya, menilai Soeharto hanya dari sisi luka sejarah adalah langkah yang tidak bijak.
Arwan menegaskan, Soeharto memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan dan penguatan kedaulatan bangsa. Ia juga mengingatkan agar perbedaan pendapat tidak diwariskan sebagai dendam antar generasi. Bagi Arwan, menghormati jasa para pemimpin bukan berarti meniadakan kritik, tetapi menempatkan sejarah secara proporsional sebagai pembelajaran bangsa.
Keempat pandangan tersebut menggambarkan satu benang merah: menjaga kondusivitas dalam menyikapi perdebatan seputar Soeharto adalah wujud nyata kedewasaan berdemokrasi. Demokrasi yang matang tidak diwarnai hujatan atau permusuhan, melainkan dihiasi dengan penghormatan terhadap pendapat berbeda dan penghargaan terhadap jasa setiap tokoh bangsa.
Penganugerahan gelar pahlawan seharusnya tidak dilihat semata dari sudut politik, melainkan sebagai bagian dari perjalanan panjang bangsa dalam menghargai pengabdian putra-putri terbaiknya.
Dalam konteks itu, menjaga ketenangan sosial dan mengedepankan sikap bijak menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, ormas, akademisi, maupun warga negara.
Mewujudkan kematangan demokrasi berarti memastikan bahwa setiap proses kebangsaan berjalan dalam suasana damai dan saling menghormati. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto hanyalah salah satu ujian kecil dari kematangan itu. Bangsa yang besar tidak hanya menilai sejarah dari luka, tetapi juga dari keteguhan hati untuk terus bersatu demi masa depan yang lebih baik. (*)
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik
