Gerakan Papua Menuju Zero Stunting Demi Generasi Sehat dan Berkualitas

Oleh: Sylvia Mote *)

Upaya menurunkan angka stunting di Indonesia terus menunjukkan kemajuan, namun tantangan besar masih mengemuka, terutama di wilayah timur seperti Papua. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional telah menurun menjadi 19,8% dari 21,6% pada 2022. Meski demikian, target ambisius 14% sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 menuntut kerja ekstra keras dari seluruh elemen bangsa. Papua menjadi wilayah strategis sekaligus kritis dalam misi besar ini karena kompleksitas geografis, sosial, dan kultural yang memengaruhi kualitas gizi anak.

Pemerintah Provinsi Papua telah menegaskan komitmennya melalui peluncuran Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting), sebuah inisiatif kolaboratif yang dipimpin oleh Wakil Gubernur Aryoko Rumaropen. Program ini bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan bentuk nyata kepedulian lintas sektor yang dirancang sebagai gerakan sosial berkelanjutan. Melalui Genting, setiap pejabat dan pemangku kepentingan di lingkungan pemerintah daerah didorong menjadi Orang Tua Asuh bagi anak-anak berisiko stunting di berbagai kabupaten. Langkah tersebut diharapkan memperkuat pendekatan berbasis komunitas yang menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembang generasi Papua.

Aryoko menjelaskan bahwa Genting merupakan bagian dari capaian 100 hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang telah diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) transisi. Pendekatan ini menyatukan berbagai program lintas sektor, dari kesehatan, pendidikan, hingga ketahanan pangan, dalam satu sistem kolaboratif. Pemerintah daerah menempatkan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai poros utama pembangunan Papua menuju 2030, dengan stunting sebagai indikator fundamental keberhasilan.

Di lapangan, langkah-langkah nyata juga terlihat di berbagai kabupaten. Kabupaten Nabire, misalnya, berhasil mencetak prestasi sebagai juara pertama dalam Lomba Percepatan Penurunan Stunting tingkat Provinsi Papua Tengah. Kepala Bapperida Kabupaten Nabire, Dr. H. Mukayat, menilai capaian tersebut merupakan hasil kerja kolektif dari semua pemangku kepentingan, mulai dari perangkat daerah hingga mitra swasta. Ia menekankan bahwa keberhasilan itu bukan karena kebetulan, melainkan buah dari konsistensi menjalankan regulasi nasional, khususnya Perpres 72 Tahun 2021, yang kini diadaptasi secara lebih efisien di daerah.

Kabupaten Nabire menerapkan empat aksi konvergensi utama sebagai penyederhanaan dari delapan aksi sebelumnya, sehingga koordinasi menjadi lebih cepat dan efektif. Hasilnya, pelaksanaan program gizi, edukasi kesehatan ibu-anak, dan monitoring berbasis data menjadi lebih terintegrasi. Namun, keberhasilan administratif ini belum sepenuhnya tercermin dalam angka prevalensi. Data SSGI 2024 menunjukkan prevalensi stunting di Nabire berada di angka 21,7%, meski survei e-PPGBM internal menunjukkan tren penurunan hingga 12,9%. Perbedaan ini mencerminkan adanya tantangan metodologis dalam pengumpulan data, tetapi juga menggambarkan bahwa masih dibutuhkan konsistensi dalam sistem pelaporan dan verifikasi di tingkat lapangan.

Wakil Bupati Nabire, H. Burhanuddin Pawennari, menegaskan bahwa stunting bukan sekadar persoalan tinggi badan, tetapi masalah serius yang mengancam kualitas sumber daya manusia masa depan. Ia mendorong seluruh pihak agar memahami stunting sebagai isu gizi dan pola asuh, bukan faktor keturunan. Perspektif ini penting untuk mengubah paradigma masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa setiap keluarga memiliki peran vital dalam pencegahan.

Pemerintah pusat sendiri terus memperkuat dukungan bagi Papua melalui kebijakan yang terintegrasi antara sektor kesehatan, pangan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan whole-of-government yang digagas oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menjadi pedoman bagi daerah untuk membangun sistem penanganan stunting berbasis data dan aksi nyata. Papua, dengan karakteristik sosial yang unik, membutuhkan adaptasi kebijakan yang kontekstual, namun tetap berpijak pada prinsip nasional: percepatan penurunan stunting harus menempatkan anak sebagai pusat perhatian pembangunan.

Sinergi lintas sektor menjadi kunci utama keberhasilan. Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pengendalian Penduduk dan KB, serta lembaga mitra seperti Yayasan Wahana Visi Indonesia dan PT Freeport Indonesia, berperan aktif dalam mendukung kegiatan monitoring dan evaluasi. Kolaborasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan wujud integrasi antara kebijakan pemerintah dan partisipasi masyarakat sipil. Dalam setiap program, pemerintah daerah menekankan pentingnya inovasi berbasis data agar setiap intervensi dapat terukur dan tepat sasaran.

Kunci keberlanjutan gerakan ini terletak pada empat strategi yang diungkapkan Wabup Burhanuddin: koordinasi, komitmen, kerja sama, dan kolaborasi. Empat prinsip ini menjadi pondasi bagi seluruh pemangku kepentingan di Papua untuk membangun sistem yang kuat, berorientasi hasil, dan responsif terhadap tantangan lapangan. Pemerintah daerah juga terus menyiapkan mekanisme evaluasi tahunan guna memastikan program tidak hanya berjalan, tetapi juga memberikan dampak yang terukur terhadap penurunan angka stunting.

Melalui kebijakan yang berpihak, kerja kolektif yang terukur, dan komitmen yang konsisten dari semua pihak, Papua memiliki peluang besar untuk menjadi contoh sukses dalam percepatan penurunan stunting di kawasan timur Indonesia. Di bawah payung kebijakan nasional dan dengan dukungan masyarakat yang solid, perjuangan melawan stunting di Papua bukan sekadar misi kesehatan, tetapi gerakan sosial untuk memastikan setiap anak tumbuh sehat, cerdas, dan siap menjadi bagian dari masa depan Indonesia yang gemilang.

*) Pengamat Kebijakan Sosial di Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *