Tokoh Agama dan Akademisi Dukung Pemberian Gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto

Oleh : Aldry Kusuma )*

Menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November, masyarakat diingatkan untuk memperkuat persatuan nasional dan mewaspadai segala bentuk provokasi yang berpotensi memecah belah bangsa.

Dalam situasi global yang dinamis dan arus informasi yang semakin cepat, menjaga kondusivitas sosial menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Hari Pahlawan bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan yang diwariskan oleh para pejuang kemerdekaan.

Semangat tersebut sejalan dengan pesan moral yang diangkat dalam tema peringatan tahun ini, “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan”. Nilai yang terkandung di dalamnya mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa dengan memperkuat solidaritas di tengah perbedaan. Perpecahan dan provokasi, dalam bentuk apapun, berpotensi melemahkan sendi-sendi persatuan yang telah dibangun dengan pengorbanan luar biasa para pahlawan.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, menegaskan bahwa bangsa ini harus belajar dari sejarah masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih berkeadaban.

Ia memandang, menjaga yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih bermanfaat merupakan prinsip penting dalam kehidupan berbangsa. Nilai tersebut selaras dengan semangat kepahlawanan, yang menuntun masyarakat untuk tetap menjaga harmoni sosial di tengah perubahan zaman.

Gus Fahrur menilai, keteladanan para pemimpin masa lalu seperti Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat menjadi cermin dalam memperkuat rasa persatuan. Soeharto, menurutnya, memiliki jasa besar dalam membangun stabilitas nasional dan ekonomi, sementara Gus Dur berjasa memperkuat demokrasi dan rekonsiliasi bangsa pascareformasi.

Menghargai peran keduanya, kata dia, bukan berarti menutup mata terhadap kekurangan yang ada, melainkan bentuk kedewasaan bangsa dalam melihat sejarah secara utuh. Pandangan tersebut mencerminkan semangat rekonsiliasi yang kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan Indonesia.

Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof. Marsuki, juga menyoroti pentingnya sikap bijak masyarakat dalam menghadapi perbedaan pandangan, terutama di tengah derasnya arus informasi dan opini publik.

Ia menilai, semangat persatuan yang diperjuangkan para pahlawan harus menjadi pegangan utama dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks modern, perpecahan sering kali muncul bukan karena perbedaan ideologi besar, melainkan akibat provokasi digital dan penyebaran hoaks yang masif di ruang publik.

Menurut Prof. Marsuki, menjaga stabilitas nasional berarti menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Ia menegaskan bahwa masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang belum jelas kebenarannya.

Ketika masyarakat terjebak dalam polarisasi, maka nilai-nilai kepahlawanan seperti pengorbanan dan gotong royong akan luntur. Karena itu, momentum Hari Pahlawan seharusnya menjadi waktu untuk merefleksikan kembali arti perjuangan di era modern—yakni menjaga persatuan dalam keberagaman.

Senada dengan hal tersebut, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menyampaikan bahwa semangat persatuan adalah warisan paling berharga dari para pahlawan bangsa.

Ia menekankan, perjuangan tokoh-tokoh besar seperti Soeharto yang turut berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, hingga upaya membangun kemandirian ekonomi nasional melalui program pembangunan berencana, merupakan bukti bahwa kerja keras dan kebersamaan mampu membawa bangsa ini pada kemajuan.

Menurutnya, penghargaan terhadap jasa pahlawan tidak boleh dilihat dari perbedaan politik atau kepentingan sesaat, tetapi dari kontribusinya terhadap bangsa dan negara. Pandangan tersebut mengandung pesan moral penting bagi masyarakat: bahwa perbedaan pandangan tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan, melainkan peluang untuk memperkaya kehidupan berbangsa yang demokratis.

Peringatan Hari Pahlawan tahun ini juga memiliki makna strategis dalam konteks pemerintahan saat ini. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tengah menekankan pentingnya stabilitas nasional sebagai fondasi utama pembangunan.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menyerukan agar TNI dan Polri bersikap tegas dalam menjaga keamanan dan menolak segala bentuk provokasi yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Pesan tersebut sejalan dengan semangat Hari Pahlawan, di mana keamanan dan persatuan menjadi syarat utama bagi kemajuan bangsa.

Selain memperkuat sektor keamanan, pemerintah juga terus mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Program-program yang sedang dirancang diarahkan untuk memberdayakan masyarakat melalui kerja sama lintas sektor, dengan mengedepankan nilai-nilai gotong royong dan solidaritas sosial. Prinsip tersebut merupakan bentuk nyata penerapan semangat kepahlawanan di era modern—berjuang bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan karya dan kontribusi.

Dalam refleksi yang lebih luas, Hari Pahlawan seharusnya menjadi pengingat bahwa bangsa ini dibangun di atas semangat persatuan, bukan perpecahan. Para pahlawan berjuang tanpa memandang suku, agama, atau latar belakang, demi satu tujuan: Indonesia merdeka dan berdaulat.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, masyarakat dituntut meneladani semangat itu dengan cara yang relevan—menghindari provokasi, menjaga keharmonisan sosial, serta berperan aktif dalam pembangunan.

Persatuan adalah pilar utama bagi keberlanjutan bangsa. Tanpanya, segala bentuk kemajuan hanya akan bersifat sementara. Karena itu, momentum Hari Pahlawan 2025 harus dimaknai sebagai ajakan moral bagi seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat rasa kebersamaan, menolak adu domba, dan meneguhkan tekad melanjutkan perjuangan para pahlawan melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. (*)

)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *