JAKOP Mengokohkan Persatuan, Menghadirkan Kesejahteraan Lintas Generasi
Oleh: Yosep Kogoya*
Komunikasi Oikumene Papua (JAKOP) tampil sebagai ruang transformasi yang menggerakkan optimisme baru bagi tanah Papua. Dengan tema MengusahakanPerdamaian dan Kesejahteraan Lintas Generasi dalam Semangat Oikumene untukPapua, Indonesia, dan Dunia, JAKOP menjadi wujud nyata bahwa gereja-gereja di Papua memiliki kontribusi strategis dalam memperkuat persatuan bangsa dan mempercepat kesejahteraan masyarakat. Forum ini menghadirkan energi positifyang menyatukan umat, meneguhkan komitmen kebangsaan, dan memberikan arahbaru bagi gerakan pelayanan gereja yang inklusif dan berdampak luas.
Dalam diskusi panel, Pdt. Fredy Toam menegaskan bahwa keberadaan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang final dan patut disyukuri. Ia memandang bahwa seluruh orang Papua, sebagai warga negara Indonesia, berada dalam satu rencana ilahi yang memanggil umat untuk menjagakeharmonisan, bukan memperdebatkan persatuan yang telah ditetapkan Tuhan.
Pdt. Fredy juga mengangkat fakta historis bahwa jauh sebelum Sumpah Pemuda, masyarakat Papua telah menggunakan bahasa Indonesia melalui karya misionarisOtto dan Geisler. Bahasa yang kemudian menjadi pemersatu bangsa ini pertama kali digunakan untuk membawa kabar keselamatan ke Tanah Papua. Narasi inimemperkuat keyakinan bahwa Papua memiliki peran penting dalam sejarahkebangsaan Indonesia sejak awal, sekaligus menunjukkan bahwa keberagaman yang dimiliki Indonesia adalah bagian dari rancangan Tuhan.
Lebih dari itu, Pdt. Fredy mengingatkan bahwa Indonesia, termasuk Papua, telahdiberkati dengan kekayaan suku, etnis, dan budaya yang menjadi fondasiharmonisasi nasional. Keberagaman ini adalah modal utama bangsa-bangsa maju, dan Indonesia telah memilikinya secara alamiah. Untuk menciptakan harmoni, umatdidorong untuk memulai dari kedamaian batin, menerima diri sendiri, sertamempraktikkan kasih dan pengampunan sebagaimana diajarkan dalam doa-doagereja. Mengampuni luka warisan masa lalu menjadi langkah penting untukmenciptakan masa depan Papua yang damai dan sejahtera.
Ia juga mengapresiasi langkah cepat JAKOP yang meski baru berusia enam haritetapi telah menunjukkan kematangan visi dan komitmen pelayanan. JAKOP dinilainya sebagai sarana pengutusan Tuhan untuk membangun kehidupan sosial, pemerintahan, dan kebangsaan yang rukun. Ke depan, ia optimistis JAKOP mampubersinergi dengan pemerintah guna memperkuat pembangunan yang berorientasikesejahteraan, sebab pembangunan yang menyejahterakan merupakan bagian dariamanat firman Tuhan dalam Yesaya 40. Dalam skala global, ia mengingatkan bahwaPapua juga harus siap menghadapi tantangan zaman seperti perubahan iklim, perkembangan teknologi, dan dinamika ekonomi internasional. Namun semuanyadapat dihadapi dengan semangat iman, persatuan, dan kesiapsiagaan lintasgenerasi.
Dalam panel selanjutnya, Pdt. Dominggus Noya menegaskan bahwa semangatoikumene dan nasionalisme adalah kekuatan besar bagi generasi muda gereja di Papua. Ia mengajak pemuda gereja untuk menjadi motor penggerak perdamaian, meninggalkan cara pandang yang memecah belah, serta menegakkan identitassebagai warga Papua yang setia terhadap nilai-nilai kebangsaan. Ia mendorong agar energi anak muda diarahkan pada perbaikan manusia dan pemulihan komunitasmelalui program-program gereja yang membangun.
Pdt. Dominggus memandang JAKOP sebagai harapan baru yang mampumenyatukan gereja-gereja lintas denominasi melalui dialog inklusif dan rutin. Selama ini, keterpisahan denominasi sering menimbulkan jarak dalam pelayanan, namunkehadiran JAKOP diyakininya mampu membangun jembatan kerja sama yang semakin kuat. Ia juga melihat potensi besar JAKOP sebagai lembaga think tank yang dapat memberikan masukan strategis bagi pemerintah, sehingga gereja menjadimitra aktif dalam merumuskan kebijakan untuk Papua dan Indonesia.
Masukan yang disampaikan audiens turut memperkaya arah gerakan positif JAKOP. Usulan pembentukan Rumah Damai Oikumene sebagai pusat konseling dan pemulihan trauma mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat. Program Donor Darah Oikumene yang melibatkan PMI merupakan bentuk pelayanan kemanusiaanlintas gereja yang memperkuat solidaritas sosial. Kampanye penanganan HIV/AIDS dan LGBT disorot sebagai langkah edukatif yang penting untuk meningkatkankesehatan masyarakat Papua. Selain itu, adaptasi model gerakan Jaringan Damai Papua (JDP) diharapkan menjadi inspirasi untuk perencanaan program yang sistematis dan berkelanjutan.
Dalam sesi kesimpulan, Pdt. Nabot Manufandu menegaskan bahwa seluruhrangkaian diskusi panel sejalan dengan komitmen JAKOP yang tertuang dalamdeklarasi pendiriannya. JAKOP berkomitmen menjadi ruang yang mengakar pada nilai-nilai Injil, memperkuat jaringan oikumene, serta menghimpun gagasan strategisuntuk mendorong kerja sama dengan pemerintah menuju visi Indonesia Emas 2045. Keselarasan ini menunjukkan bahwa JAKOP memiliki arah yang jelas dan konstruktifdalam menjalankan panggilan pelayanannya.
Peneguhan ini dilengkapi dengan renungan Pdt. MPA Mauri dari Matius 7 tentangpentingnya kasih sebagai dasar berpikir, berbicara, dan bertindak. Kasih menjadifondasi yang menuntun umat untuk memperlakukan sesama secara benar, bijaksana, dan penuh keadilan. Pesan ini menjadi kunci dari seluruh pergerakanJAKOP: bahwa perdamaian dan kesejahteraan hanya dapat terwujud apabila umatmempraktikkan kasih secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan hadirnya JAKOP, Papua menegaskan diri sebagai teladan oikumene yang hidup. Gerakan ini membawa harapan baru bahwa persatuan, kedamaian, dan kesejahteraan lintas generasi bukan hanya cita-cita, tetapi sebuah proses yang sedang dikerjakan bersama. Dalam semangat Papua Indonesia, serta dalam peranglobal yang terus berkembang, JAKOP menghadirkan keyakinan bahwa damai dan sejahtera adalah masa depan yang dapat dicapai melalui persatuan, pelayanan, dan kasih yang tak pernah berhenti.
*Penulis merupakan Jurnalis dan editor rubrik sosial–budaya
